CSR Bentuk Tanggung Jawab Sosial dalam Perspektif Islam

Artikel, Berita1379 Dilihat

Oleh :
Drs. Suparman, M.M.

Masih banyaknya perusahaan yang tidak hadir dalam acara temu pengusaha yang dipimpin Wakil Gubernur Taj Yasin Maemoen di Gedung Bappeda Jateng beberapa waktu lalu, seperti dilansir dalam media lokal menunjukkan bahwa perusahaan belum sadar akan arti pentingnya corporate social responsibility (CRS) terhadap lingkungannya.

Padahal CSR dalam perspektif etika bisnis Islam adalah praktik bisnis yang memiliki tanggung jawab etis secara Islami. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba menuju kebaikan, khususnya perusahaan memasukkan norma-norma agama Islam yang ditandai dengan adanya komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial di dalam menjaga operasinya.

Tanggung jawab sosial perusahaan adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingan, yaitu konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan mencakup aspek ekonomi,sosial dan lingkungan.

Sedangkan praktik bisnis dalam kerangka CSR Islam mencakup serangkaian kegiatan bisnis dalam bentuknya. Hanya cara memperoleh dan mendayagunakan dibatasi oleh aturan halal dan haram oleh syari’ah.

Menurut Islam, CSR yang dilakukan harus bertujuan untuk menciptakan kebajikan yang dilakukan bukan melalui aktivitas-aktivitas yang mengandung unsur riba, melainkan dengan praktik yang diperintahkan Allah berupa zakat, infak, sedekah dan wakaf. Selain itu, CSR juga harus mengedepankan nilai kedermawanan dan ketulusan hati, sehingga perbuatan ini lebih Allah cintai dari ibadah-ibadah mahdhah. Rasulullah SAW bersabda, memenuhi kebutuhan seorang mukmin lebih Allah cintai dari pada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakan ratusan ribu dirham dan dinar.

Meski demikian pelaksanaan CSR dalam Islam juga merupakan salah satu upaya mereduksi permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, dengan mendorong produktivitas masyarakat dan menjaga keseimbangan distribusi kekayaan di masyarakat. Oleh karena itu, Islam mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Dalam Al-qur’an (QS.Al hasyr:7), Allah berfirman: supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.

CSR selalu berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, dimana suatu organisasi terutama perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya, sehingga tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, melainkan juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya itu baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Dengan demikian CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan, dengan cara manajemen dampak (meminimasi dampak negatif dan maksimasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku kepentingannya. Oleh karena itu, jika perusahaan tidak mau melaksanakan program CSR ini, sebenarnya sangat disayangkan dengan dalih apapun. Padahal, di Provini Jawa Tengah Perda Nomor 2 Tahun 2017 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan sudah diberlakukan, sehingga perusahaan yang sudah memberikan keuntungan secara tidak langsung harus ikut terlibat memberikan kontribusinya terhadap lingkungan.

Kepedulian kepada masyarakat sekitar atau relasi komunitas mempunyai arti sangat luas, namun secara singkat bisa dimengerti sebagai peningkatan pastisipasi dan posisi organisasi, didalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. Hanya dalam perkembangannya juga semakin kompleks, seiring dengan dinamika lingkungan yang melingkupinya.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi relasi organisasi dengan publiknya seperti yang terjadi di Indonesia, yaitu perusahaan BUMN diantaranya PT Pertamina, PT Telkom, PT Phapros, serta perusahaan perbankan yang sahamnya milik pemerintah dan sebagainya. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal untuk memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan, yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, yang biasanya diberi nama laporan CSR atau laporan berkelanjutan.

Namun demikian laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri yang sejenis). Akibatnya, banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar ‘’pemanis bibir’’ misalnya saja, pada kasus laporan tahunan CSR dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan kebenaran isi laporan. Jadi bagaimanapun laporan CSR atau laporan berkelanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya.

Salah satu public yang memberikan kontribusi terbentuknya reputasi organisasi adalah komunitas. Dengan demikian komunitas dipahami sebagai sekelompok orang yang memiliki kepentingan yang terkait dengan keberadaan organsiasi, serta dilihat dari geografis berada di wilayah sekitar organisasi (Grunig &Hunt, 1984). Sedangkan keberdaan komunitas menjadi penting bagi kelangsungan eksistensi organisasi mengingat komunitas merupakan kelompok masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu, sehingga menjadi bagian dari lingkungan dimana organisasi itu berada.

Sementara perkembangan CSR merupakan sebagai salah satu pondasi penting dalam kaitannya dengan perjalanan manajemen corporat. Meski konsep CSR seperti yang dikenal saat ini baru dikenal awal tahun 1970-an, namun konsep CSR sudah dikemukakan Howard R. Bowen pada tahun 1953 Carrol, 1999) dalam karyanya Social Reponsibiities of the businessman.

Oleh karena itu, Carrol menyebut Bowen sebagai” the Father’s of Corporate Social Responsibility” merumuskan konspe tanggung jawab social sebagai: “the obligations of businessman to pursue those policies to mak those decisions, or to follow those lines of action which are desirable in term of the objectives and values our society”.

Menurut Carrol (1979), konsep CSR memuat komponen-komponen yaitu Economic responsibilities Namun dewasa ini, ketika korporasi mendengar konsep CSR timbul banyak berbagai persepsi menyangkut hal tersebut. Ada yang memandang CSR identik dengan pemberdayaan lingkungan sosial saja, atau hanya berkecimpung di aktifitas lingkungan tanpa memperdulikan situasi sosialnya atau masih banyak persepsi lainnya yang sifatnya tidak menyeluruh, setengah-setengah dalam memahaminya sehingga terlampau dangkal dalam mencerna CSR itu sendiri.

Sejauh ini, definisi yang cukup dikenal mengenai CSR masih mengandung empat kategori tanggung jawab social, yaitu: economic responsibilities, legal responsibilities, ethical responsibilities, dan discretionary responsibilities. Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas.

CSR bukanlah sekedar kegiatan amal saja, tetapi CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya, agar sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal, dengan kepentingan pemegang saham yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.

Namun dalam beberapa hal, masih malasnya perusahaan melaksanakan CSR, karena ketidakpahaman akan reward yang akan diperoleh. Padahal bila dipelajari lebih detail dan jauh lagi banyak reward yang bisa diperolehnya ketika implementasi CSR sudah baik dan mapan. Sebetulnya CSR itu lebih menghasilkan keuntungan financial bagi perusahaan.

Namun demikian, ketika korporasi di Indonesia mendengar konsep CSR, timbul banyak berbagai persepsi menyangkut hal tersebut. Ada yang memandang CSR identik dengan pemberdayaan lingkungan sosial saja, atau hanya berkecimpung di aktifitas lingkungan, tanpa memperdulikan situasi sosialnya atau masih banyak persepsi lainnya yang sifatnya tidak menyeluruh, setengah-setengah memahaminya saja, sehingga terlampau dangkal dalam mencerna CSR itu sendiri.

*) Mahasiswa PDIM Universitas Islam Sultan Agung Semarang dan Wartawan anggota PWI Jawa Tengah