Oleh : Muhammad Ichsan, S.Pd
Pernyataan mantan Ketua MK, Mahfud Md, yang menyebut daerah yang dimenangkan capres Prabowo Subianto dulunya dianggap ‘provinsi garis keras’ jadi heboh. Kritik tetap ramai muncul meski Mahfud sudah memberi penjelasan.
Pernyataan itu disampaikan Mahfud dalam wawancara di salah satu stasiun TV. Video potongan wawancara yang berdurasi 1 menit 20 detik lalu beredar di media sosial. Berikut pernyataan Mahfud:
Kemarin itu sudah agak panas dan mungkin pembelahannya sekarang kalau lihat sebaran kemenangan ya mengingatkan kita untuk lebih sadar segera rekonsiliasi. Karena sekarang ini kemenangan Pak Jokowi ya menang dan mungkin sulit dibalik kemenangan itu dengan cara apapun
Tapi kalau lihat sebarannya di beberapa provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah. Dan itu diidentifikasi tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga.
Saya kira rekonsiliasinya jadi lebih penting untuk menyadarkan kita bahwa bangsa ini bersatu karena kesadaran akan keberagaman dan bangsa ini hanya akan maju kalau bersatu.
Mahfud menegaskan bahwa istilah ‘garis keras’ adalah istilah biasa dalam ilmu politik. Dia mengambil contoh daerah asalnya, Madura.
“Dalam term itu saya juga berasal dari daerah garis keras yaitu Madura. Madura itu sama dengan Aceh dan Bugis, disebut fanatik karena tingginya kesetiaan kepada Islam sehingga sulit ditaklukkan. Seperti halnya konservatif, progresif, garis moderat, garis keras adalah istilah-istilah yang biasa dipakai dalam ilmu politik,” jelas Mahfud.
Nasi sudah menjadi bubur, penjelasan tersebut tidak berpengaruh. Mayoritas muslim di Sumatera, Aceh, Padang, Sumsel, Jawa Barat kecewa berat terhadap sang Professor.
HARA KIRI Politik
Seppuku (“potong perut”) di luar Jepang lebih dikenal dengan sebutan harakiriadalah suatu bentuk ritual bunuh diri yang dilakukan oleh ksatria samurai di Jepang dengan cara merobek perut dan mengeluarkan usus untuk memulihkan nama baik setelah kegagalan saat melaksanakan tugas dan/atau kesalahan untuk kepentingan rakyat. Sebenarnya secara historis Jepang, tradisi harakiri sudah resmi dihapuskan pada tahun 1873 setelah restorasi Meiji. Namun berjalannya waktu menjadikannya tetap mengakar bahkan membumi di Jepang.
Dalam evolusinya, harakiri di Jepang modern semakin dikenal dalam dinamika perpolitikan yakni berkembangnya istilah ‘Harakiri politik’. Harakiri politik yakni bunuh diri jabatan – mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan nasional sebagai simbol keberanian seorang pemimpin dalam menghadapi kesalahan, kegagalan dan kekalahan dalam tugas. Sikap ksatria ditularkan bahkan kepada para penguasa atau pejabat publik. Harakiri politik dilakukan baik dengan cara mundur dari jabatan maupun mengakhiri hidupnya dengan melakukan bunuh diri (harakiri).
Intinya rasa bersalah, rasa malu serta menempatkan martabat dan atau kepentingan publik di atas martabat dan kepentingan pribadi. Bukan bermaksud untuk sama-sama menerapkan tradisi harakiri sebagai bentuk penghormatan terhadap negara dan kepentingan publik, tetapi nilai-nilai ksatria dalam kepemimpinannya seharusnya membawa kita pada sebuah kontemplasi. Kontemplasi politik dibutuhkan sebagai upaya mencari solusi bagi buramnya realitas politik saat ini. Selain itu kenyataan politik di alam demokrasi yang serba transaksional perlu diproteksi dengan nilai-nilai hidup yang mendalam serta tegas dalam regulasi maupun implementasinya.
Professor Mahfud MD telah mempertontonkan ‘Hara Kiri’ Politiknya didepan masyarakat Indonesia. (*)
“Redaksi tidak bertanggungjawab atas akibat tulisan yang dimuat, segala sesuatu akibat dari tulisan menjadi tanggungjawab penulis Citizen Journalism”
Komentar