INILAHONLINE.COM, JAKARTA
Pemerintah didesak segara mengkaji ulang soal isi Rancangan Undang Undang (RUU) Pertanhan. Pasalnya, banyak hal yang kontradiktif antara tujuan diadakannya RUU Pertanahan dengan Peraturan yang dinilai tidak pro rakyat kecil. Demikian dikatakan Sekjen Sekretariat Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (Seknas KPA) Dewi Kartika dalam sebuah Diskusi di kawasan Jakarta Selatan, Minggu (14/7/2019).
“Kami menuntut pemerintah untuk menunda RUU Pertanahan, sebelum disahkan menjadi UU. Karena isi dari RUU tersebut masih banyak yang kontradiktif,” tegasnya.
Menurutnya, isi dari RUU Pertanahan yang saat ini tengah dikaji oleh Komisi II DPR RI banyak informasi yang tidak detail dan tidak membahas soal pokok permasalahan agraria, sehingga UU ini tidak menjamin arah pemenuhan hak masyarakat di pedesaan. Kemudian poin kedua reforma agaria itu bungkusan besar, kalau kita lihat betul-betul, RUU Pertanahan tidak eksplisit tujuan untuk reforma agraria.
“Seharusnya dalam RUU ini membahas soal solusi dari adanya konflik agraria struktural,” tandas Dewi Kartika.
Lebih lanjut dikatakan, Kalaupun pemerintah akan membuat pengadilan pertanahan, maka hal tersebut tidak akan menyelesaikan persoalan konflik tanah di dalam negeri yang 11 tahun terakhir sudah tercatat ada 20.000 lebih kasus. “Baca juga mengenai konsep Bank Tanah di RUU Pertanahan Berguna untuk Proyek Pemerintah yang mana didalamnya ada 20.000 kasus pertanahan itu belum termasuk sektor kehutanan pesisir, pulau kecil, konflik agraria, infrastruktur dan properti,” ungkapnya.
Dewi juga mengatakan, pihaknya mengkhawatirkan dengan adanya pengadilan pertanahan ini, tidak akan menjadi jawaban dari agraria untuk masyarakat seperti nelayan, perempuan mayarakat miskin kota yang menjadi korban penggusuran, baik kawasan hutan dan kebun,
“RUU Pertanahan merupakan masuk Prolegnas DPR RI sejak periode 2009-2014. Kemudian berlanjut hingga DPR RI periode 2014-2019. Namun hingga saat ini RUU ini belum selesai dibahas. RUU ini ditargetkan selesai sebelum DPR RI Periode 2014-2019 berakhir,” imbuhnya.
Menurut Dewi Kartika, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menargetkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan rampung pada September 2019. Saat ini, prosesnya masih dibahas pemerintah dan DPR. Dalam RUU ini, salah satu poin yang dibahas adalah jangka waktu dan luas yang diberikan untuk Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada perusahaan demi menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, sekaligus juga bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
“Adapun poin lainnya, adalah terkait penyediaan tanah untuk pembangunan, percepatan penyelesaian sengketa, kebijakan fiskal pertanahan, kewenangan pengelolaan kawasan oleh kementerian atau lembaga dan penghapusan hak-hak atas tanah yang bersifat kolonial,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua umum (Ketum) Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Rosan P Roeslani ketika dimintai tanggapannya atas proses pembahasan RUU Pertanahan tersebut, di Jakarta mengatakan, RUU tentang Pertanahan yang nantinya akan menjadi Undang-undang (UU), tidak boleh menjadi penghambat gerak dunia usaha dan iklim investasi asing di Tanah Air.
Menurut pengusaha muda ini, didalam RUU tersebut ada beberapa pasal yang krusial yang berpotensi menjadi penghambat, apalagi jika sudah diundangkan, akan mengikat semua. Padahal Presiden Jokowi sudah berkali-kali mengingatkan agar investasi ke dalam negeri dipermudah dan berbagai penghalang baik regulasi dan birokrasi harus dipangkas.
“Kami dari KADIN meminta DPR-Pemerintah yang tengah membahas RUU Pertanahan ini untuk mengundang kami sebagai organisasi yang menaungi berbagai asosiasi pengusaha dan menyuarakan kepentingan pengusaha. Sinkronisasi antara regulasi dan dunia usaha sangat penting. Jangan sampai apa yang diinginkan UU tersebut bertabrakan dengan realitas dunia usaha,” katanya.
Lebih jauh Rosan mengatakan, RUU Pertanahan ini sangat penting mengingat regulasi itu menyangkut berbagai aspek, dan bersinggungan langsung dengan kalangan dunia usaha. Karena itu ada sekitar 9 asosiasi seperti Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Kawasan Khusus (KEK), asosiasi pertambangan dan sebagainya yang menulis surat ke KADIN dan memberikan berbagai masukan mengenai RUU Pertanahan tersebut.
“Karena itu secara resmi KADIN telah mengirim surat kepada Ketua DPR RI yang isinya meminta kepada Komisi II DPR RI yang membahas RUU Pertanahan ini untuk dapat menerima masukan dari KADIN secara langsung sehingga kami bisa menjelaskan dari sisi dan perspektif KADIN,” ungkap Rosan
Dalam surat tertanggal 4 Juli 2019 tersebut KADIN juga memohon kepada Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan RUU Pertanahan ini mengingat RUU tersebut perlu dibahas secara mendalam dan perlu mendapat masukan-masukan langsung dari kalangan dunia usaha/KADIN.
“Jadi pokok-pokok pikiran KADIN untuk RUU Pertanahan ini sangat penting,” katanya.
Selain itu, Rosan berharap bahwa jangan sampai UU Pertanahan ini nanti akan mereduksi iklim usaha. Pihaknya mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya kepada pemerintah dan DPR untuk melihat ke depan, bagaimana dunia usah bisa berkembang maju seperti harapan Presiden dan tentunya harapan kita semua.
“Oleh karena itu jangan sampai membuat aturan/UU yang memberatkan kalangan dunia usaha. Karena pada aturan tertentu draft RUU ini malah memeprkecil ketentuan kawasan, karena mungkin belum mendapat masukan-masukan yang komprehensif dari kalangan dunia usaha,”tambahnya.
Rosan menekankan sebuah UU dalam kaitan ini pembahasan RUU Pertanahan nantinya malah mereduksi perkembangan dunia usah di Indonesia yang ingin menarik investasi asing lebih besar. Mengapa? Karena banyak pagar penghalang. Sebab jika penghalang atau hambatan berasal dari UU itu celaka.
Selama ini ada opini dan anggapan, bahwa birokasi ikut menghambat dan pemerintah sudah bertekad memangkas berbagai aturan penghalang, lalu kini akan muncul UU yang berpotensi menghambat.
“Nah, karena itu pembahasan RUU Pertanahan ini. jangan tergesa-gesa dan perlu masukan langsung dari pihak yang sangat terkait, termasuk dari KADIN,” pungkas Rosan.
(Piya Hadi)