INILAHONLINE.COM, BOGOR – Dinas Kesehatan Kota Bogor melalui Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit , Menyelanggarakan uji coba deteksi dini Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), peserta terdiri Kepala Bidang P2P , Subkor PTM, Petugas Kesehatan Puskesmas Kota Bogor beserta penghuni salah satu lapas di Kota Bogor.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang sering ditemukan pada usia diatas 40 tahun, dan sering mengalami penyulit berupa gangguan pernapasan yang berat, seringnya eksaserbasi, komorbid yang dapat menyebabkan buruknya kualitas hidup dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Menurut data penyebab kematian menunjukkan bahwa Penyakit Tidak Menular mendominasi 10 urutan teratas penyebab kematian pada semua kelompok umur. Saat ini PPOK sebagai peringkat keempat dalam kontribusi penyebab kematian dan diprediksi akan meningkat menjadi peringkat ketiga pada 20 tahun kedepan, oleh karena sejalan dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko PPOK maka diperkirakan jumlah penyakit tersebut akan meningkat.
Hubungan antara rokok dengan PPOK merupakan hubungan dose response, semakin banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan semakin lama kebiasaan merokok, maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Saat ini, lebih dari 65 juta penduduk Indonesia adalah perokok aktif. Jumlah ini terus bertambah dari tahun ke tahun dan menempatkan Indonesia ke peringkat ketiga dengan jumlah perokok aktif tertinggi di dunia. Sebanyak 62 juta perempuan dan 30 juta laki- laki Indonesia menjadi perokok pasif, dan yang paling menyedihkan adalah anak-anak usia 0- 4 tahun yang terpapar asap rokok berjumlah 11, 4 juta anak (SEATCA,2019).
Meskipun bahaya dari merokok sudah sangat jelas namun prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat, terlihat dari hasil RISKESDAS tahun 2013, tahun 2016 dan tahun 2018 yang menunjukkan prevalensi perokok pemula usia 10-18 tahun meningkat signifikan masing-masing sebesar 7,2%, 8,8% dan menjadi 9,1% atau sekitar 8 juta perokok anak. GYTS tahun 2019 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019).
The Asia Pacific Chronic Obstructive Pulmonary Disease Roundtable Group memperkirakan, jumlah pasien PPOK derajat sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik tahun 2006 mencapai 56,6 juta jiwa dengan prevalensi 6,3% dan Indonesia sebesar 5,6%. Secara global 60-85% penderita PPOK tidak mengetahui penyakitnya, di Indonesia masih banyak pasien PPOK yang tidak mengetahui kalau dirinya menderita PPOK. Hal ini disebabkan karena tidak memeriksakan diri secara serius ke layanan kesehatan karena menganggap batuk dan sesaknya merupakan hal biasa akibat merokok, disisi lain saat pasien PPOK datang ke layanan kesehatan, petugas kesehatan umumnya mengatasi keadaan akutnya yang dianggap sebagai penyebab datangnya pasien ke layanan kesehatan dan selanjutnya tidak melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari diagnosis utama yang tepat. Disamping itu belum semua petugas layanan kesehatan memahami langkah-langkah dalam mendiagnosis PPOK.
Berdasarkan keterangan diatas, menggambarkan perlunya deteksi dini PPOK bagi masyarakat dan mencegah eksaserbasi akut. Upaya ini dilakukan melalui kegiatan deteksi dini dan diagnosis PPOK secara terintegrasi dan fokus pada faktor risikonya, melalui “Community Base lntervension and Development”‘, yang didukung oleh sistem rujukan dan regulasi memadai, dengan kerjasama lintas profesi dan keilmuan, lintas program, kemitraan, lintas sektor, pemberdayaan swasta/ industri, dan kelompok masyarakat madani.
Deteksi dini akan dilakukan pada kelompok individu berisiko tinggi dan masyarakat secara aktif baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di tatanan masyarakat. Tujuan spesifik dari kegiatan ini adalah:
- Mengenali tanda dan gejala PPOK
- Penggunaan instrumen PUMA untuk deteksi dini.
- Penanganan segera dan tatalaksana segera hasil deteksi dini melalui alur tatalaksana PPOK.
(Humas Dinas Kesehatan Kota Bogor)
Komentar