INILAHONLINE.COM, JAKARTA
Tema Hari AIDS Sedunia ke-30 yang jatuh pada 1 Desember 2018 adalah “Kenalilah statusmu” (Know your status), tema ini dikumandangkan oleh seluruh masyarakat seantero dunia termasuk Indonesia. Agar semua orang mau melakukan tes HIV dan bermaksud untuk menghilangkan stigma yang mencegah masyarakat awam untuk mengetahui status HIVnya. Tes merupakan langkah awal untuk menuju pengobatan HIV dalam hal ini ARV yang optimal, hal ini menjadi jaminan kualitas hidup yang lebih bagi ODHA dan menjadi kunci untuk mengurangi kematian akibat AIDS serta mencegah infeksi baru.
Tidak semua pengobatan akan sama bagi semua ODHA, pengobatan yang optimal dapat memberikan perubahan positif yang signifikan bagi seorang ODHA. Pada April 2018 terdapat pembaruan pada rejimen antiretroviral untuk mengobati dan mencegah infeksi HIV. WHO merekomendasikan dolutegravir (DTG) sebagai pilihan alternatif pengganti EFV untuk ART lini pertama yang memiliki efikasi yang lebih tinggi, mengurangi efek samping, harga yang sangat terjangkau untuk versi generiknya yaitu USD 75/pasien/tahun dan seseorang dapat mencapai viral load yang tidak terdeteksi dalam hal ini adalah Undetectable = Untransmittable (U=U).
Namun, dibalik gagap gempita peringatan hari AIDS sedunia tahun ini, Indonesia AIDS Coalition (IAC) justru mengkhawatirkan situasi akses pengobatan bagi ODHA saat ini. Hingga hari ini proses tender pengadaan obat ARV jenis Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz (TLE) tidak berjalan mulus, akibat tidak adanya kesepakatan harga antara pemerintah dan perusahaan farmasi yang memiliki ijin edar obat tersebut yaitu PT. Kimia Farma dan PT. Indofarma. Selama ini, harga obat ARV jenis TLE yang dibeli pemerintah Indonesia sangat mahal. Ini adalah harga beli obat ARV yang tertinggi di dunia. Berdasarkan data yang dikumpulkan LSM IAC, harga beli pemerintah untuk obat ARV jenis TLE ini tercatat di tahun 2016 mencapai harga Rp 385 ribu per botol. Sementara, berdasarkan dokumen resmi dari agen pengadaan internasional, harga obat ini di pasaran Internasional hanya berkisar US$ 8 9 per botol (sekitar Rp 115 ribu per botol). Artinya, ada selisih sekitar Rp 270 ribu per botol keuntungan yang masuk ke perusahaan BUMN farmasi selama ini.
Berjalan lambatnya proses tender obat ini pada akhirnya memunculkan kekhawatiran yang selama ini diprediksi oleh IAC yaitu kekosongan obat TLE di beberapa daerah. “Berdasarkan pantauan ARV Community Support (ACS) kami di 23 distrik, ketersediaan obat TLE sudah banyak yang kosong di beberapa daerah seperti Deli Serang, Surabaya, Kota Tangerang, Depok, Bekasi, Tangerang Selatan dan beberapa daerah lain stok mulai menipis. Hal ini menimbulkan kekhawatiran teman-teman ODHA terkait ketersediaan obatnya,” seperti yang disampaikan oleh Resputin, Monitoring ARV Officer IAC.
Disaat kami mengkhawatirkan ketersediaan obat ARV bagi teman-teman ODHA, beberapa waktu lalu IAC dikejutkan dengan adanya berita di media mengenai dugaan korupsi pengadaan obat ini. Diduga ada penggelembungan harga atau prosedur pengadaan tidak jelas berdasarkan informasi dari Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung yang beredar di media.
“Seperti yang diketahui, ODHA dapat memiliki kualitas hidup yang baik jika meminum obat ARV. Obat ini diminum seumur hidup, Kementerian harus menyegerakan proses tender obat ARV ini dan perusahaan farmasi tentunya harus mengenyampingkan profit dibandingkan nyawa puluhan ribu ODHA. Selain itu, pemerintah dalam hal ini harus serius menangani kasus dugaan korupsi obat ARV, jika benar terjadi dugaan tersebut tentunya bukan hanya pemerintah yang dirugikan namun puluhan ribu ODHA lainnya yang belum mendapatkan akses obat sangat dirugikan. Mereka menantikan untuk dapat berobat namun karena keterbatasan ketersediaan obat akhirnya menghambat untuk mendapatkan akses pengobatan,” menurut Aditya Wardhana, Direktur LSM IAC.
Jangan sampai euforia Hari AIDS Sedunia kemudian melupakan situasi-situasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia kepada ODHA sebagai masyarakatnya. Kekhawatiran akan situasi ini tentunya akan berdampak pada program penanggulangan HIV di Indonesia. Mempengaruhi komitmen Indonesia untuk dapat mencapai 90-90-90 di tahun 2020 dan Getting to Zero pada tahun 2030.
Dalam situasi ini, IAC menghimbau pemerintah Indonesia agar 1) mempercepat proses tender obat TLE sehingga akses obat bagi ODHA tetap terjamin, 2) Serius dalam menyelesaikan dugaan korupsi obat ARV sehingga tidak merugikan pemerintah dan ODHA, 3) Menggunakan posisinya sebagai pemerintah supaya perusahaan lokal farmasi tidak mementingkan keuntungan dibalik nyawa ODHA, 4) Mendorong ketersediaan pilihan obat ARV yang lebih berkhasiat seperti Dolutegravir sehingga ODHA memiliki pilihan dalam pengobatannya dan dapat terus memiliki kualitas hidup yang baik.
(CJ/Mustaal)
Komentar