InilahOnline.com (Semarang-Jateng) – Revisi RUU Penyiaran masih terus bergulir dan kini berbagai benturan serta perdebatan terus mewarnai untuk dijadikan Undang-Undang, baik ke depan akan dikelola secara single mux atau multiple mux.
”Sebenarnya tidak terlalu penting apakah dikelola single mux atau multiple mux, mengingat pada prinsipnya pengelolaan itu harus didampingi lembaga independen,” ujar Bambang Sadono Inisiator UU Penyiaran yang digelar di Auditorium Fisip Undip Semarang, Rabu (15/11).
Menurut Bambang, dalam UU penyiaran orientasinya hanya satu, apapun pengaturannya yang penting untuk kepentingan publik yang tidak boleh dirugikan dan harus dilindungi.
”Oleh karena itu, dalam persaingan global ini yang dihadapi adalah modal besar dan profesionalisme yang kuat,”ujarnua selepas Diskusi Publik Gonjang Ganjing Revisi RUU Penyiaran yang digelar di Auditorium Fisip Undip Semarang.
Publik, lanjutnya, perlu dilindungi agar tidak menjadi korban terhadap investasi yang begitu besar dan teknologi canggih. Bahkan peran pejuang-pejuang kepentingan publik harus aktif dalam menyuarakan hal tersebut termasuk kalangan media.
”Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diperbesar itu sangat baik, karena selama ini peran KPI tidak banyak terlihat mewakili kepentingan masyarakat, banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dilakukan lembaga penyiaran tetapi diam dan pasif,”tutur Bambang yang juga Anggota DPD RI dari Jawa Tengah itu.
Menurutnya, semangat lahirnya UU Penyiaran pada 2002 lalu karena ingin mewujudkan penyiaran bisa diatur dengan keberagaman isi, kepemilikan, mengutamakan kepentingan publik, budaya lokal, bebas dari kepentingan politik dan ekonomi serta diawasi dengan membentuk badan pengawas penyiaran.
Sementara wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI Firman Subagyo SE MH menuturkan jika pengelolaan akan dilakukan oleh satu lembaga bakal bertentangan dengan UU lain, Namun, jika dipertahankan single mux maka akan dikelola oleh satu lembaga dan akan menjadi monopoli baru, padahal yang dipersoalkan oleh publik saat ini adalah swasta yang melakukan monopoli.
”Saat ini belum ada aturan pembatasan frekuensinya, sehingga satu perusahaan akan kami berikan satu frekuensi, dan akan menghasilkan delapan sampai 10 kanal, meski tidak maksimal,”ujarnya.
Namun demikian, lanjutnya, jika perusahaan itu hanya mampu mengelola dua kanal, maka kewajibannya adalah memberikan kesempatan bagi pemain baru membuat kegiatan baru pertelevisian dan ada deal business to business yang diawasi oleh pemerintah.
”Dalam UU penyiaran yang baru seharusnya bisa membatasi para pemodal besar, yang ingin menguasai penggunaan frekewensi tersebut,”tandasnya.(Suparman)
Komentar