Itsar Relational Capability: Strategi Membangun Hubungan Bisnis Dalam Islamic Marketing

Artikel, Berita42 Dilihat

Oleh : Suparman*)

Dalam era globalisasi dan industri 4.0 yang semakin canggih sekarang ini membawa dampak besar bagi perusahaan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya. Industri 4.0 ini memerlukan perubahan strategi pemasaran, termasuk memulai kematangan pasar digital saat ini. Tehnologi merupakan kunci utama dalam implementasi revolusi industri 4.0 yang didukung dengan adopsi perangkat lunak, sensor, prosesor dan teknologi komunikasi.

Munculnya berbagai bentuk teknologi baru tersebut lahirlah penggabungan industri besar yang mengarah pada area bidang industri, produk dan jasa, model bisnis dan pasar, ekonomi, lingkungan kerja dan pengembangan ketrampilan. Meski dalam pembelajaran organisasi memiliki pengaruh langsung pada kinerja perusahaan. Sebaliknya pada tingkat kelompok dan individu tidak menimbulkan efek signifikan pada kinerja (Tortorella,2019).

Sementara konsumen cenderung akan mencari layanan lebih personal dari perusahaan, sehingga ekspektasi pelanggan yang lebih tinggi menciptakan kondisi pasar yang sangat kompetitif di industri jasa pemasaran dan hubungan bisnis yang berkarakter Islami saling mengutamakan kepentingan bersama. Demikian juga di industri usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat. Seperti yang dikemukakan Naser.K dan L. Moutinho (1997), bahwa industri kecil dan menengah serta perbankan juga mengalami persaingan yang kuat tidak hanya di kalangan bank syariah sendiri maupun juga dari bank konvensional.

Salah satu faktor penting dalam mempertahankan persaingan tersebut adalah meningkatkan loyalitas pelanggan. Padahal loyalitas pelanggan diakui para pakar pemasaran sebagai faktor penting dalam mempertahankan persaingan. Woodruff, R.B (1997) mengakui bahwa loyalitas pelanggan sebagai sumber penting untuk mempertahankan persaingan yang berkelanjutan dalam hal retensi pelanggan ( lama menjadi pelanggan), pembelian ulang dan hubungan jangka panjang. Oleh karena itu, banyak langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam mempertahankan loyalitas pelanggan, salah satunya adalah memberikan kepuasan kepada pelanggan.

Kepuasan pelanggan dapat dibedakan menjadi dua, yakni kepuasan pelanggan dengan layanan inti ( custumer satisfaction with the core service ) dan kepuasan pelanggan dengan lembaga atau perusahaan ( custumer satisfaction with the company ). Pengukuran kepuasan pelanggan dalam konteks pemasaran konvensional pada umumnya menggunakan dasar teori pertukaran umum, seperti teori pertukaran sosial dan teori modal sosial.

Sementara Itsar adalah mendahulukan orang lain dari pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, konsep Itsar adalah konsep pemasaran Islamic Marketing yang menekankan pada aspek maksimalisasi nilai yakni kejujuran dan keadilan yang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan hidup masyarakat baik di dunia maupun di akherat, sebagaimana tujuan diturunkan syariah ( Maqasid Al- Syariah ). Tujuan akhir konsep Islamic Marketing adalah kemaslahatan, maka pengukuran konstruk yang terkait dengan pemasaran di dasarkan pada nilai- nilai syariah Islam.

Al-Itsar bisa diartikan sebagai sebagai konsep perilaku sosial yang memberikan perlakuan kepada orang lain, seperti perlakuan kepada dirinya sendiri ( Kamus Al – Munnawir, 1997 ). Secara garis besar pengertian Itsar menurut para tokoh ulama adalah tindakan mendahulukan orang lain atas dirinya sendiri dalam hal keduniaan dengan sukarela karena semata mengharapkan akherat (Sholeh, 2011).

Ditinjau dari aspek filosofis terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara dasar pemikiran konsep pemasaran konvensional dengan konsep pemasaran Islam ( Islamic Marketing ). Menurut Blau (1964), dasar pikiran teori pertukaran sosial adalah interaksi kemungkinan akan berlanjut apabila ada pertukaran imbalan. Sebaliknya, interaksi yang menimbulkan kerugian terhadap salah seorang atau terhadap kedua belah pihak, sehingga sangat kecil kemungkinannya berlanjut. Teori pertukaran sosial ini memiliki keterbatasan, di mana hubungan pertukaran dalam teori pertukaran sosial hanya didasarkan pada imbalan ekonomi dan atau sosial, dengan tujuan mendapatkan kepuasan sesaat yaitu kepuasan hidup di dunia. Dengan demikian hubungan pertukaran dalam teori pertukatan sosial ini dibatasi pada aspek material, belum menjangkau pada aspek spiritual yang bersifat transendental.

Berbeda dalam konsep pemasaran Islam ( Islamic Marketing ) yang mendasarkan Teori Maqasid Syari’ah dimana hubungan pertukuran atau muamalah yang didasari nilai-nilai ibadah kepada Allah SWT. Konsep pemasaran Islam menekankan pada aspek maksimalisasi nilai yaitu untuk memperoleh kemaslahatan kehidupan baik di dunia dan akhirat sebagaimana tujuan diturunkannya Syariah Islam, bukan semata untuk mengejar keuntungan sebanyak banyaknya.

Konsep pemasaran yang demikian akan membentuk perilaku para pemasar untuk bertindak secara jujur dan adil yang tumbuh dari dalam nurani pemasar, sehingga terhindar dari perilaku tidak etis yang dapat merugikan pelanggan, diri sendiri, maupun pihak lain. Disinilah pentingnya konsep pemasaran yang mendasarkan nilai- nilai syariah Islami, yakni dengan pendekatan konsep Islamic Marketing dalam mempertahankan persaingan melalui upaya peningkatan loyalitas pelanggan.

Konsep Pemasaran Islam Masih Terbatas

Berdasarkan pengamatan konsep pemasaran Islam masih relatif terbatas. Oleh karena itu, konsep pengukuran kepuasan pelanggan dengan layanan inti dengan menggunakan prinsip- prinsip dasar syariah Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah masih belum begitu banyak. Dengan konsep ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dalam keilmuan ekonomi Islam khusus dalam bidang pemasaran, sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan bagi manajer pemasaran. Dan yang lebih penting adalah sebagai landasan dasar perilaku pemasaran berdasarkan prinsip- prinsip syariah Islam.

Gaspers mendifinisikan pelanggan dalam beberapa difinisi diantaranya; 1) Pelanggan adalah orang yang tidak tergantung kepada kita, tetapi kita yang tergantung kepadanya. 2) Pelanggan adalah orang yang membawa kita kepada keinginannya. 3) Tidak ada seorang pun yang pernah menang beradu argumentasi dengan pelanggan. 4) Pelanggan adalah orang yang teramat penting yang tidak dapat dihapuskan.l

Sedangkan beberapa jenis pelanggan dalam manajemen mutu terpadu, yaitu: a) Pelanggan Internal ( Internal Custumer ) adalah orang yang berada di dalam organisasi (perusahaan) dan memiliki pengaruh pada kinerja pekerjaan lembaga, b) Pelanggan antara ( intermediate Custumer ) yaitu mereka yang bertindak dan berperan sebagai perantara, bukan sebagai pemakai akhir produk itu, c) Pelanggan eksternal (eksternal customer) yaitu pembeli atau pemakai akhir produk itu, yang sering disebut sebagai pelanggan nyata (real custumer). Dengan demikian loyalitas pelanggan didefinisikan sebagai niat pelanggan atau kecenderungan untuk membeli kembali dari perusahaan yang sama.

Devlin, Ennew dan Mirza (1995) menyatakan, bahwa salah satu keunggulan bersaing yang paling efektif dalam bisnis berkarakteristik adalah membina hubungan erat dengan konsumen. Hal senada diungkapkan Stevens (2000) bahwa loyalitas pelanggan adalah salah satu tema pemasaran yang telah berubah menjadi perhatian penting bagi manajer, yang pada umumnya disebabkan karena persaingan yang kuat terutama dalam industri jasa.

Paradigma masyarakat sekarang ini menganggap perilaku bisnis, menggunakan etika Islam akan menghambat proses mencapai keuntungan maksimal sebagai asas dalam berbisnis. Namun apabila kita cermati lebih mendalam etika bisnis yang banyak dilakukan perusahaan dapat mengantarkan perusahaan semakin establish dan sustainable, lebih baik lagi jika etika bisnis Islam dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah dijadikan sebagai landasan dasarnya.

Pendekatan konsep pemasaran konvensional berbeda dengan pendekatannya konsep pemasaran dalam perspektif Islam. Pemasaran konvensional menggunakan pendekatan konsep Relationship Marketing yang mendasarkan Teori Pertukaran Sosial ( Social Exchange Theory ), sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Roman (2003) dan Chen serta Mau (2009). Menurut Michael Petet Blau (1964) dasar pikiran teori pertukaran sosial adalah interaksi kemungkinan akan berlanjut bila ada pertukaran imbalan. Sebaliknya, interaksi yang menimbulkan kerugian terhadap salah seorang atau terhadap kedua belah pihak sangat kecil kemungkinannya untuk berlanjut. Teori pertukaran sosial menyarankan bahwa pihak yang terlibat pertukaran melakukan evaluasi hubungan dalam konteks perilaku, ketidakadilan jangka pendek dan mengutamakan keuntungan bersama jangka panjang. Selain itu, Lambe Wittmann dan Speakman (2001) mengemukakan, bahwa pada umumnya hubungan jangka panjang digunakan dalam pertukaran relasional business-to-business.

Teori Pertukaran Sosial dan Modal Sosial

Sementara Teori Pertukaran Sosial mendasarkan bahwa interaksi pertukaran melibatkan hasil ekonomi dan atau sosial, tapi seiring waktu masing- masing pihak dalam hubungan pertukaran membandingkan hasil ekonomi dan sosial dari interaksi tersebut terhadap alternatif pertukaran yang ada, dimana menentukan ketergantungan mereka pada hubungan pertukaran. Teori pertukaran sosial ini memiliki keterbatasan dimana hubungan pertukaran dalam teori pertukaran sosial hanya didasarkan pada imbalan ekonomi dan atau sosial, dengan tujuan mendapatkan kepuasan sesaat yakni kepuasan hidup di dunia.

Hubungan pertukaran dalam teori pertukaran sosial ini dibatasi pada aspek material, sehingga belum.menjangkau pada aspek spiritual yang bersifat transendental. Oleh karena itu, konsep hubungan pertukaran dalam pandangan teori pertukaran sosial yang hanya didasarkan pada imbalan ekonomi dan atau sosial untuk mendapatkan kepuasan hidup sesaat di dunia tidak sesuai dengan pronsip-prinsip syariah Islam.

Konsep Islamic Marketing merupakan proses dari identifikasi dan penerapan strategi maksimalisasi nilai untuk kesejahteraan para pemangku kepentingan, khususnya dan masyarakat pada umumnya yang diatur oleh pedoman yang diberikan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsep Islamic Marketing mendasarka pada Teori Maqasid Syari’ah yang bersumber pada Al-qur’ an dan As-Sunnah dimana hubungan pertukaran menekankan pada aspek maslahah ( kesejahteraan ) kehidupan manusia, baik di dunia maupun akhirat, sebagaimana tujuan diturunkannya Syariah Islam (maqasih syari’ah), bukan hanya sekedar didasarkan pada imbalan ekonomi dan atau sosial dengan tujuan mendapatkan kepuasan sesaat, yakni kepuasan hidup di dunia semata, sebagaimana dalam konsep Relationship Marketing dengan mendasarkan Teori Pertukaran Sosial. Sedangkan teori modal sosial sebagai seperangkat nilai-nilai dn norma-norma informasi yang dianut oleh anggota yang bekerjasama dengannya ( Nelson,2007). Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial merupakan nilai- nilai, norma-norma yang melekat dalam diri individu untuk dapat berhubungan dengan orang lain.

Konsep tersebut ternyata menceminkan sebuah fenomena yang mengindikasikan berkembangnya pemasan Islam di seluruh dunia. Pendapat Abdullah dan Hambali mengatakan, bahwa konsep Islamic Marketing mendapatkan momentum yang cukup penting dalam pengembangan bidang pemasaran, sehingga banyak mengundang perhatian bagi kalangan sarjana, para praktisi dan pelanggan dalam pemasaran Islam.

Saeed, Ahmed, dan Mukhtar (2001) menyatakan bahwa uang merupakan jantung pemasaran Islam adalah prinsip maksimalisasi nilai yang didasarkan pada keadilan dan kejujuran ( menciptakan transaksi atau komunikasi dengan mitra usaha secara adil dan wajar ) untuk kesejahteraan masyarakat acara luas. Dengan kata lain etika pemasaran Islam didasarkan pada prinsip keadilan dan kejujuran. Terdapat tiga karakteristik etika pemasaran dari perspektif Islam. Pertama, etika pemasaran Islam didasarkan pada perintah dalam Al-qur’an dan tidak meninggalkan ruang untuk perbedaan interpretasi oleh pelaku pemasaran sesuai dengan kehendak dan keinginan masing-masing. Kedua, perbedaan utama adalah aspek transedental secara mutlak dan watak aslinya yang tidak mudah dipengaruhi. Ketiga, pendekatan Islam menekankan pada maksimalisasi nilai yang lebih mementingkan kesejahteraan masyarakat dari pada mengejar keuntungan pribadi sebanyak mungkin. Sikap seperti itu menjamin etika Islam memiliki kapasitas yang sangat besar untuk merebut hati nurani manusia, sehingga mampu mempengaruhi perilaku para pelaku pemasaran dari dalam.

Tujuan akhir dari konsep Islamic Marketing adalah kemaslahatan, maka pengukuran konstruk yang terkait dengan pemasaran didasarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Inilah yang membedakan pendekatan konsep pemasaran konvensional, baik Relationship Marketing maupun lainnya yang kebanyakan mendasarkan teori pertukaran sosial. Oleh karena itu, bentuk yang dibangun dalam pemasaran konvensional didasarkan teori etika konvensional dimana tolok ukur perbuatan benar atau salah berdasarkan akal pikiran.

Kepuasan Pelanggan

Menurut Oliver, R.L, (1980) kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dengan harapannya. Sedangkan Anderson dan Fornell (1994) mengatakan kepuasan adalah keseluruhan evaluasi kinerja berdasarkan semua pengalaman sebelumnya dengan perusahaan. Gotlieb, Grawal dan Brown (1994) menyatakan, bahwa kepuasan terhadap suatu jasa bekaitan dengan proses konfirmasi dan diskonfirmasi dengan harapan yang diinginkan. Oleh karena itu, penelitian di bidang pemasaran jasa banyak menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan ( Crosby dan Stephen, 1987, Dabholkar et al, 2000, Liljander dan Mattson,2000).

Kepuasan pelanggan dan konsumen dalam perspektif pemasaran Islam dan ekonomi Islam didasarkan pada tuntutan syariah Islam maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa kepuasan pelanggan dan konsumen berkaitan erat dengan kebutuhan, keinginan, maslahah, manfaat, berkah, keyakinan dan kehalalan. Kepuasan pelanggan dengan layanan inti dalam konteks pemasaran Islam, Al- Qur’an telah memberikan konsep layanan yang akan mampu memberikan kepuasan pelanggan diantaranya adalah sikap lemah lembut, murah hati danu mengutamakan pelanggan (Itsar). Dengan demikian kepuasan pelanggan dengan layanan inti dalam konteks pemasaran Islam dikonseptualisasikan melalui tiga indikator yaitu sikap lemah lembut, murah hati dan mengutamakan pelanggan (Itsar).

Pertama, sikap lemah lembut adalah sifat yang terpuji dihadapan Allah dan Rasul-Nya, bahkan dihadapan seluruh manusia. Tetapi, fitrah manusia mencintai kelembutan sebagai wujud kasih sayang. Oleh karena itu, Allah mengingatkan Rasul-Nya dalam QS. Ali Imron (3): 159. Ayat tersebut memberikan gambaran bahwa sikap lemah lembut merupakan faktor penting dalam memberikan layanan sepenuhnya, agar pelanggan merasa memperoleh kepuasan sesuai yang diharapkan. Sikap lembut dalam berniaga disebutkan dalam Hadist yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah r.a, Rasulullah bersabda yang artinya, semoga kasih sayang Allah dilimpahkan kepada orang yang bersikap lemah lembut pada saat membeli dan meminta kembali uangnya.

Kedua, kepuasan pelanggan dengan layanan inti dalam perspektif Islam adalah sikap murah hati. Sikap murah hati adalah memberi bantuan secara ikhlas kepada uang memerlukan. Oleh karena itu, murah hati merupakan bagian dari akhlak mulia. Sebagaimana disebutkan Imam Gazali, Akhlak mulia itu adalah bergaul dengan baik, berhati mulia, bersikap lembut, mendengarkan kebajikan, menyedekahkan makanan, menebarkan salam, menahan kemarahan dan mengampuni kesalahan orang lain.

Ketiga, sikap mengutamakan kepentingan orang lain ( Itsar ) merupakan faktor penting dalam kepuasan pelanggan, karena mengutamakan kepentingan orang lain sangat dianjurkan dalam Islam. Beberapa pakar ilmu pengetahuan hampir sepakat bahwa secara alami manusia adalah egois dan mementingkan dirinya sendiri, dan melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya sendiri. Sikap individualis dengan meninggalkan solidaritas dipandang dari sudut syar’i adalah suatu sikap yang bertentangan dengan Islam, karena para ulama telah menetapkan kaedah/usul fikih bahwa; “Mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah dibenci, namun dalam masalah lainnya disukai “.

Itsar dalam perkara duniawi sangat disenangi dan dicintai oleh Allah SWT. Sikap mendahulukan kepentingan orang lain dijelaskan dalam Firman Allah dalam ( QS. Al- Hasyr [59]: 9 ). Mendahulukan kepentingan pelanggan memang bukan hal mudah. Melayani mereka dengan ketulusan memang butuh pengorbanan. Namun semua itu merupakan hal yang mendasar dalam sebuah kesuksesan usaha. Kaitannya dalam penelitian ini, jika tenaga penjual UMKM Batik dalam setiap melayani konsumennya menggunakan prinsip Mendahulukan kepentingannya sebagaimana digambarkan di atas, maka niscaya nasabah akan merasa puas.(*)

*)Drs.Suparman, MM, MIkom. Wartawan Utama anggota PWI Jateng. Alumni S2 Manajemen Unissula dan S2 Komunikasi Undip.

banner 521x10

Komentar