INILAHONLINE.COM, JAKARTA – Perhimpunan Ahli Kewilayahan HAP bersama dengan URDI menyelenggarakan Seminar “Menatap Masa Depan Jakarta, sebagai pusat kegiatan sosial dan ekonomi nasional” di Hotel Borobudur, Rabu (21/02/2018).
Kegiatan, bertujuan agar dapat menghasilkan dokumen yang dapat dipakai sebagai acuan bagi Pemerintah untuk membuat Kota Jakarta kembali menjadi kota yang indah nyaman efisien dan ramah kepada warganya.
Dimana, sekarang ini salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Jakarta adalah lalu lintas yang sangat padat dan tanpa disiplin. Sehingga, begitu banyak kerugian yang disebabkannya.
Diantaranya, waktu tempuh yang sangat panjang dan tak masuk akal lagi, kualitas udara yang buruk yang mengganggu kesehatan. Kemudian pembakaran bahan bakar minyak yang bisa lebih dari seratus persen dari penggunaan normal, dan masih banyak lagi kerugian imaterial membuat kota ini menjadi kehilangan daya saing.
Dijelaskannya, saat ini kendaraan bermotor setiap tahun meningkat dengan tajam menunjukkan mobilitas manusia dan barang terus mengalami peningkatan dengan jumlah statistik yang diambil dari halaman 14, sumber BPS DKI Jakarta 2016, yakni sepeda motor (73,92 %), mobil penumpang (19,58 %), mobil beban (3,83 %), mobil bus (1,88 %), dan kendaraan khusus (0,79 %). Sementara prasarana jalan yang sangat terbatas dengan komposisi sbb: (ambil dari halaman 7, sumber BPS DKI 2016).
Dengan jumlah itu, jika ditempatkan secara berjejer di seluruh jalan raya di Jakarta, maka mustahil bagi kendaraan tersebut bergerak, dengan kata lain akan “Berhenti Total”. Kondisi ini tentu menjadi masalah sangat serius. Disisi lain, perencanaan pembangunan kota-kota mandiri di bagian lingkar luar Jakarta sudah banyak di lakukan sejak dahulu. Bahkan, berbagai analisis sudah pula dibuat sebagai upaya untuk membuat Jakarta tumbuh sebagai kota besar yang sehat. Namun, sepertinya upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil karena berbagai kendala. Akibatnya tak terhindarkan tumbuhnya Urban-Sprawl (pengembangan tak terkendali sepanjang jalan raya).
Seiring dengan kebijakan Otonomi Daerah dan pembagian kewenangan Pusat ke Daerah, maka salah satu alternatif yang perlu digali adalah dengan memindahkan kantor Kementrian dan Lembaga Pemerintah, kecuali enam instansi antara lain instansi Keuangan, Agama, Hukum dan Kehakiman, Pertahanan dan Keamanan, Luar Negeri.
Sebagai contoh, di masa lalu pernah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/Tahun 1997 yang meminta agar kantor Kementrian dan Lembaga di pindahkan ke Jonggol, dengan maksud mengurangi beban dan tekanan terhadap Jakarta. Salah satu opsi ini mungkin bisa di review kembali, mengingat pada saat itu keputusan tersebut cukup banyak studi pendukungnya. Namun, pada saat ini tentu saja kondisi sudah banyak berubah, namun ide tersebut masih layak ditinjau ulang.
Pengembangan kota-kota mandiri di luar Jakarta dalam jangkauan waktu 2-4 jam tentu saja bisa menjadi salah satu solusi jangka pendek bagi meringankan beban kota Jakarta yang sudah sedemikian berat. Pengembangan kota-kota mandiri sekaligus dapat mencegah berkembangnya urban-sprawl yang akan menambah beban kota Jakarta.
Beberapa pengembang seperti Bukit Jonggol Asri, dll siap mendukung Keppres 1/ 1997 dengan rencana alokasi 500 ha di Jonggol untuk pembangunan kota administrasi pemerintah pusat dalam rangka mengurangi kemacetan Jakarta. Metode pendanaan bisa dengan pola PPP (Public Private Partnership). Diperkirakan ada 24 departemen yang tak harus di Jakarta bisa dipindahkan seperti Kementrian Pertanian, Kementrian BPN Agraria, Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam, Kementrian Perumahan, Kementrian Perhubungan.
Untuk itu, diharapkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat mendukung penyelesaian pembangunan infrastruktur sesuai yang telah direncanakan, antara lain LRT Jakarta Bogor, jalur Puncak Dua dan tol Sentul Selatan- Kerawang Barat. Dengan ini bisa mengurangi minimal 1 juta penduduk yang bekerja dan memadati kota Jakarta. (Ian Lukito)
Komentar