‘Kota Tua’ Lasem Menarik Dikunjungi, Kota Identik Dengan Kulturasi Budaya Berarsitektur Multi Etnis Cina dan Jawa

INILAHONLINE.COM, REMBANG — Mengunjungi Kota Tua di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, adalah kota tua yang identik dengan kulturasi budaya ditandai oleh bangunan kuno berarsitektur multi etnis, baik bentuk rumah sebagai tempat tinggal, hingga bangunan Masjid dan Klenteng sebagai tempat ibadah warga masyarakatnya.

‘Kota Tua’ Lasem, Kabupaten Rembang, Jateng, sangat menarik untuk dikunjungi, karena kota yang dihiyasi oleh bangunan kuno berarsitektur multi etnis itu, masyarakatnya begitu humanis tanpa sekat dan jarak, meski kultur budaya dan agama berbeda, namun mereka hidup harmonis, berdampingan untuk saling menghormati.

Bangunan berarsitektur etnis Cina, mendominasi kota tua Lasem, karena hampir disetiap sudut lorong dan gang kota di pesisir pantura Jawa itu, berupa bangunan seperti kota di Tiongkok. Campuran dua kultur budaya berbeda, yakni budaya Jawa dan etnis China, menjadikan Kota Tua Lasem mempunyai jejak dan nilai sejarah panjang bagi bangsa Indonesia.

Hingga saat ini, kata Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Rembang, Afan Martadi mengatakan, Kota Tua Lasem Kabupaten Rembang, adalah sebuah Kota Pusaka. Kota yang menyimpan sejarah masa lalu yang bisa dipelajari, tidak hanya bangunan khas Tiongkok, ada pula situs purbakala yang dapat ditemukan di Lasem.

Di Kota Tua Lasem, terdapat beberapa patung kuno hingga kelenteng yang masih sangat terawat. Salah satu Kelenteng Cu An Kiong, ada juga rumah dengan arsitektur Cina, yakni Rumah Oei yang sekarang menjadi tempat nongkrong untuk ngopi warga multi etnis, Jawa dan Cina, Minang, Madura serta wisatawan yang datang ke Lasem.

Kelenteng tua ini, konon pernah digunakan sebagai lokasi syuting untuk film Ca-bau-kan. Kelenteng ini menyimpan banyak sejarah karena telah dibangun sejak abad ke-16. Kelenteng Cu An Kiong juga berlokasi di tempat yang sangat strategis, yaitu di depan Sungai Lasem.

Selain kelenteng, tempat lain yang menarik untuk kita kunjungi ialah Rumah Lawang Ombo. Rumah yang kabarnya sudah berdiri sejak era 1700-an ini dulu milik imigran asal Tingkok Tong Kay dan Tong Day. Dua kakak beradik ini rutin mendatangkan candu alias opium dari Cina ke Lasem.

Ada Rumah Oei di Jalan Jatigoro, Karangturi, Lasem, rumah dengan pintu gerbang kuno berdaun pintu dua lapis berwarna cokelat tua berukir huruf Cina keemas-an. Begitu masuk, rumah ukuran besar dengan kayu jati tua itu, masih dilengkapi ornament kuno, seperti meja kursi hingga lukisan dan foto pemilik rumah.

Menurut Kepala Bappeda, Afan Martadi, masyarakat menyebutnya ‘Rumah Oei’. Itu nama yang tertera pada sebuah papan di atas gerbang tersebut. Saat ini, Rumah Oei menjadi pusat seni, budaya, dan kuliner di Lasem, termasuk untuk nongkrong ngopi bersama.

“Di rumah Oei, banyak warga multi etnis datang dan nopi bersama, mereka ada yang hanya berkaian celana pendek, ada juga yang menggunakan sarung lengkap dengan pecisnya, mereka datang dengan nyaman, hubungannya sangat harmonis, tidak ada sekat dan jarak. Nanti jangan lupa mampir di Rumah Oei mengicipi kopi Lelet khas Rembang,” pinta Afan.

Dulu, Kota Tua Lasem menjadi pusat perkembangan imigran Tiongkok terbesar di Jawa pada abad ke-14 hingga abad ke-15. Kedatangan imigran ini terjadi karena adanya pelayaran armada Laksamana Ceng Ho ke Jawa. Kabupaten Rembang, dengan Kota Tua di Kecamatan Lasem, lokasinya cukup ikonik. Kawasan dengan sebutan ‘Kota Tua’ sarat sejarah panjang sejak berabad-abad silam.

Kecamatan Lasem, terletak di pesisir utara Rembang ini dikenal sebagai tempat pertama orang-orang Tiongkok melabuhkan kapalnya di Tanah Jawa pada abad ke-14. Tak heran jika kawasan itu disebut sebagai pemukiman orang China (Pecinan) pertama di Pulau Jawa. Kedatangan orang dari Tiongkok, menciptakan akulturasi dua budaya, yakni kebudayaan Jawa dan Cina yang masih terlihat kental sampai saat ini.

Perpaduan tersebut, lanjut Afan Martadi, masih terlihat dari 241 bangunan kuno yang berada di sepanjang jalan dan sudut gang tersebut. Selain itu, ada 3 kelenteng dan beberapa pondok pesantren kuno dengan arsitektur Jawa-China.

Kawasan ‘Kota Tua’ yang sudah dilakukan revitalisasi dengan tidak mengurangi keasliannya, juga dikenal dengan julukan ‘Tiongkok Kecil’. Perpaduan kulturasi budaya yang berbeda, menciptakan sebuah toleransi di kalangan masyarakat yang terbangun sejak dulu hingga sekarang, dan dikenal dengan kehidupan hubungan yang harmonis, rukun tanpa ada sekat dan jarak.

Jejak Masjid Jami’ Lasem

Di ‘Kota Tua’ juga berdiri Masjid Jami’ Lasem, berada di pusat kota begitu megah. Jejak Masjid dengan alkulturasi antara budaya jawa, minang dan hindu, masih terasa dan begitu lakat. Sebab diantara bangunan Masjid, selain berdiri bangunan museum berbentuk rumah gadang yang menjadi cirikhas rumah di Kota Padang Sumatera, dihiasi lembaran pilar mushab Alquran, dan samping Masjid Jami’ terdapat pintu gerbang berbentuk gapura Hindu.

Berdasarkan literasi Kawasan Kota Tua Lasem, berdiri masjid yang berdiri di atas tanah Desa Binangun, Kecamatan Lasem, Rembang, ada juga makam tua yang dikeramatkan masyarakat. Makam seorang raja dari negeri Minangkabau bernama Sultan Mahmud. Konon semasa hidupnya, meninggalkan kerajaan dan melepaskan gelarnya sebagai raja, semua itu dilakukan semata untuk mendalami agama Islam.

Sedangkan Masjid Jami’ Lasem dibangun sekitar tahun 1500, tepatnya pada tahun 1588 dengan pendirinya yaitu Mbah Sambu atau dikenal dengan nama Syech Maulana Sam Bwa Asmarakandhi. Dengan corak bangunan berarsiktektur penuh dengan akulturasi antara

China, Arab dan Majapahit.

Keberadaan Masjid di jalan Eyang Sambuh di jalur pantura Jawa, merupakan jalur utama yang tidak pernah sepi adanya aktivitas manusia, yakni Kabupaten Rembang (Jawa Tengah) dengan Kabupaten Tuban (Jawa Timur). Lasem juga disebut kota Tionghoa karena keberadaan penduduk beretnis Tionghoa.

Di sebelah barat dan selatan Masjid Jami’ Lasem, juga di juluki kota santri karena banyak berdiri pondok pesantren (Ponpes), sehingga warganya beragam komunitas dan agama, namun mereka hidup saling berdampingan sehingga menciptakan hubungan yang harmonis.

Berdirinya Masjud Jami’ Lasem, sebagai pusat kegiatan keagamaan bagi umat Islam. Pembangunan masjid bercorak kerajaan Mataram Islam, karena saat itu lasem di jadikan wilayah kekuasaannya dengan mengintruksikan untuk membangun masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan umat Islam, membangun alun-alun dengan titik lokasinya berada didepan masjid atau lebih tepatnya berada di halaman masjid, supaya di jadikan pusat perekonomian.

Sebagai pusat perekonomian warga, di Kawasan itu dibangun pasar, dan pusat pemerintahan yang berdekatan untuk saling bersinergi. Pembangunan yang dilakukan pada masa kekuasaan Adipati Tedjakusuma I dan Sayyid Abdurrahman atau dikenal sekarang Mbah Sambu. Adipati Tedjakusuma wafat pada tahun 1632 di usia 77 dan makamnya berada disisi barat Masjid Jami’ Lasem. (ali subchi)

banner 521x10

Komentar