INILAHONLINE.COM, PURWAKARTA
Sejak dibukanya kran kebebasan Pers pasca era reformasi, saat ini masih banyak wartawan yang melanggar kode etik jurnalistik. Demikian dikatakan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat (Jabar), Hilman Hidayat, di hadapan puluhan peserta Media Gathering, yang bertajuk ” Peran Serta Dalam Publikasi Pembangunan Daerah” di Kawasan Wisata Cikao Park Purwakarta Kamis (5/3/2020).
“Namun wartawan mana yang melakukan pelanggaran itu, untuk mengetahuinya diperlukan pendeteksian yang lama”, ujarnya
Menurut Hilman, salah satu penyebab banyaknya pelanggaran kode etik jurnalistik adalah jumlah wartawan disuatu daerah bisa mencapai angka ratusan . Karena itu para nara sumber ataupun masyarakat harus memahami dan mengetahui siapa dan apa wartawan itu.
“Disetiap profesi apapun pasti selalu ada malpraktik. Seperti profesi dokter, atau advokat tidak menutup kemungkinan ada malpraktik tapi jumlahnya sangat minimum. Akan tetapi di profesi wartawan jumlah malpraktiknya itu sangat banyak,” ungkapnya.
Meski demikian Hilman tak yakin kalau malpraktik yang terjadi di profesi wartawan itu adalah dilakukan oleh wartawan yang benar benar wartawan yang profesional dan berkomptensi. Karena ke PWI Jabar banyak masuk pengaduan seputar pelanggaran kode etik dan aduan jenis lainya.Namun setelah kita telusuri pengaduan tersebut bukan dilakukan oleh wartawan, tetapi dilakukan oleh “penumpang gelap” dunia kewartawanan.
“Dengan bergulirnya kemerdekaan pers yang kini dinikmati oleh masyarakat pers dan masyarakat umum harus diakui memunculkan ekses yang mendegradasi marwah pers. Maka untuk itu, Dewan Pers yang memiliki kewenangan seperti diatur dalam UU No 40/1999 melaksanakan verifikasi perusahaan pers dan uji kompetensi wartawan”, tandasnya.
Lebih lanjut Hilman menyebutkan, sekedar untuk membedakan mana wartawan yang benar benar wartawan dan mana yang menjadi penumpang gelap dunia kewartawanan, maka jangan sampai ada mengenalisir (menyamaratakan-Red) penilaian terhadap wartawan. Sebab di dunia kewartawan banyak penumpang gelapnya,” pungkasnya.
Sementara itu di tempat terpisah, hal senada juga dikatakan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Bogor, Piyarso Hadi, pasca era reformasi tahun 1999 yang ditandai dengan lahirnya UU Pers, setiap orang dengan mudah mendirikan perusahaan pers, sehingga jumlah media semakin banyak dan nyaris tidak terkendali.
“Saat ini, untuk mendirikan media tidak perlu lagi membutuhkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) lagi, dikarenakan dalam UU-nya bahwa setiap penerbitan pers yang penting berbentuk badan hukum,” terang Pemimpin Umum inilahonline.com.
(Agoeng HP).
Komentar