INILAHONLINE.COM, BOGOR – Revitalisasi Posyandu di Kota Bogor tak perlu muluk-muluk. Dari 969 Posyandu berbagai strata, dengan 10.528 kader sukarela dari kalangan ibu rumahtangga yang terpenting harus mandiri dulu, baru dikembangkan kegiatan plus-plusnya bersama instansi terkait lainnya, seperti PKK, Disdukcapil, Dinkes, KWT (Kelompok Wanita Tani) Distan, Disperindag, dan Pokjana di bawah kepemimpinan Sekdakot Bogor.
“Karena ini tanggungjawab sosial, yang tak semata-mata berlatarbelakang fulus, mau tak mau mesti ‘sajuta: sabar, jujur, tabah’ dalam membina para kader Posyandu. Nah, terkait revitalisasi lembaga (Posyandu, red.) dalam jangka pendek ini yang terpenting mandiri aja dulu, baru penguatan kerjasama dengan instansi lainnya. Itu saja, kami sudah sangat apresiatif dan salut kepada para kader Posyandu,” tandas Kasie Kesejahteraan Anak, Proyeti, yang tiada henti menopang sang Kabid Pemenuhan Hak Anak, Tini Sri Agustini pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Bogor, Rabu (21/2/2018).
Badan yang berubah menjadi dinas per 1 Januari 2017 itu mencatat betapa pentingnya merevitalisasi Posyandu, mengingat Walikota Bogor sendiri bertekad meniadakan (nol persen) Posyandu berstrata Pratama, sedangkan per Oktober 2017 Posyandu Madya ada 27 persen, Posyandu Purnama 37 persen, dan Posyandu Mandiri 36 persen. “Tahun ini semoga bisa 50 persen yang mandiri,” ujarnya.
Posyandu Pratama yang terus diminimalisir itu memiliki kurang dari lima kader, sedangkan yang Madya sudah lima kader dan terdidik, punya kegiatan tambahan, seperti bikin akta kelahiran dan KIA (Kartu Identitas Anak) di Posyandu. Ini biasanya masih keteter, karenanya terus ditambah kader dan kegiatan tambahannya, sehingga menjadi Purnama dan Mandiri.
“Di situ sudah ada PAUD, Bank Sampah, packaging produk IRT, pembibitan, panen hingga paska panen/pemasaran produk dan lainnya, juga ada Dana Sehat dari donatur yang bisa mengcover minimal 50 persen bayi/balita di sejumlah Kepala Keluarga,” jelasnya.
Kemandirian Posyandu yang direvitalisasi itu, lanjutnya, bisa berdampak positif bagi penanganan kasus kekerasan dalam rumahtangga (KDRT), baik terhadap perempuan maupun anak-anak.
Sebagai penyanggah ibukota, Kota Bogor tercatat cukup besar dalam kasus KDRT. Pada 2017 terjadi 117 kasus, meningkat sangat signifikan dibandingkan 2016 dan 2015 yang relatif kecil, sekitar 74 kasus.
“Warga makin berani melaporkan kasus KDRT, dan kami tingkatkan kerjasama dengan PPA yang ada di kepolisian,” ungkapnya.
Sejumlah faktor menjadi latarbelakang kasus KDRT di Kota Bogor, terutama masalah ekonomi di kalangan kelas menengah ke bawah. Selebihnya, karena latarbelakang pendidikan.
“Atas dasar itu, kami aktif sosialisasi ke sekolah-sekolah, sampaikan informasi tentang bahaya seks bebas, KDRT, hak dan kewajiban anak/perempuan, juga agar korban tak segan-segan melaporkan kasus KDRT sehingga kasus KDRT tak jadi gunung es. Setidaknya kasus-kasus KDRT itu terlayani, penyelesaiannya terus dituntaskan dari tahun ke tahun, sejalan dengan revitalisasi Posyandu dan regenerasi para kadernya,” tuturnya. (Mochamad Ircham)
Komentar