INILAHONLINE.COM, JAKARTA
Pemberitaan salah satu media online yang terbit pada 13 November 2018 terkait sidang dugaan pemalsuan dengan terdakwa Haryanto Chandra dianggap Praktisi Hukum, Rachman mengada-ada. Sebab di persidangan perkara nomor: 1032/Pid.B/2018 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 12 November itu, hanya mengagendakan keterangan saksi.
“Kita menghargai hak-hak penulisan dari industri jurnalistik. Tetapi saya pemberitaan ini sangat tidak berimbang, karena (kalau) wartawan profesional pasti meminta tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum selaku penuntut negara yang membela hak korban dalam perkara pidana. Atau setidaknya meminta klarifikasi dari korban, Albert Wiyogo, sebelum memuat beritanya,” ujar Rachman, Senin (19/11).
Menurut Rachman, satu perkara pidana telah melalui tahapan panjang dalam sisi pembuktian. Dimulai dari penyelidikan, dan penyidikan untuk penetapan tersangka tentu polisi memiliki dua alat bukti yang sah menurut undang undang. Lalu dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) setelah melalui beberapa kali P.19. Kemudian dilimpahkan ke pengadilan sesuai surat dakwaan jaksa Nomor : 31/07/2018, dimana JPU mendakwa terdakwa Heryanto Chandra dengan pasal 378 KUHPidana dan atau Pasal 373 KUHPidana dan atau pasal 263 KUHPidana tentang penipuan, penggelapan dan pemalsuan.
Dalam berita sebuah media online yang berjudul “Keterangan Saksi-saksi Membantah Keterangan Saksi Pelapor Albert Wiyogo” tersebut mengarahkan bahwa keterangan saksi notaris bisa membebaskan terdakwa Heryanto Chandra dari kasus tersebut.
“Menurut saya keterangan saksi notaris tidak akan mempengaruhi keputusan Hakim dalam memutuskan perkara ini. Karena apa yang sudah didakwakan JPU berdasarkan berita acara Pemeriksaan penyidik kepolisian sudah sangat jelas terdakwa didakwa dengan pasal 378, 372, dan 263 KUHPidana. Saya melihat Penasihat Hukum mencoba mengeksplorasi saksi untuk membuka fakta baru dalam persidangan untuk membebaskan terdakwa,” ungkap Rachman.
Memang cara tersebut, lanjut Rachman, cara seorang Advokat dalam membela kliennya yang dijamin undang undang. Tetapi Rachman melihat kesaksian notaris tidak berhubungan hukum secara langsung dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
“Bahkan bagi saya apa yang diterangkan notaris dalam memberikan kesaksian adalah pelanggaran kode etik berat terhadap jabatan notaris. Karena yang bersangkutan sudah menerbitkan dan atau melegalisir dokumen kemudian yang bersangkutan sendiri yang menjelaskan hal-hal yang terjadi dalam proses tersebut. Ini adalah penyangkalan terhadap produk profesi notaris sendiri dan dapat dilaporkan ke Majelis Pengawas Notaris Daerah atau ke Kepolisian jika terdapat unsur pidana,” tegasnya.
Rachman menjelaskan, unsur-unsur yang semestinya harus dipatahkan oleh Penasihat Hukum terdakwa adalah pasal 378 KUHPidana, barang siapa, menguntungkan diri sendiri, atau orang lain tipu muslihat, palsu; dalam pasal 372 KUHPidana, unsur barang siapa, secara melawan hukum, memiliki sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain; serta Pasal 236 KUHPidana, barang siapa membuat surat palsu, memalsukan, yang dapat menimbulkan satu hak.
“Saya berpendapat sampai saat ini setelah mengikuti jalannya persidangan Penasihat Hukum belum menyajikan kesaksian yang dapat mematahkan unsur-unsur itu . Sehingga sangat jelas terdakwa sangat dimungkinkan akan dituntut jaksa enam tahun penjara karena kami melihat sangat dominan dalam perkara ini unsur pemalsuan,” ucapnya.
Rachman menambahkan, tentang kesaksian bank sangat jelas, bahwa bank telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan Bank Indonesia Nomor: 18/41/PBI/2016 tentang Billyet dan Giro. Walaupun ada alasan bank mengenai Standar Operasional Pelaksana (SOP) tetapi semuanya harus mematuhi peraturan BI.
Dimana dalam peraturan BI bank sudah diingatkan mengedepankan unsur kehati-hatiaan dan bank memiliki kewenangan 1×24 jam untuk mengklarifikasi identitas nasabah sebelum pencairan.
“Tetapi hal ini tidak dijalankan oleh bank dan hal ini sangat besar pengaruhnya dalam industri perbankan. Bank terkesan sembrono mencairkan dana sebuah perusahaan yang memiliki badan hukum tanpa klarifikasi. Terlepas dari direktur yang mencairkan, tapi ingat ada komisaris, dan ada aturan main pencairan dana dalam setiap perusahaan,” tandasnya.
Komentar