InilahOnline.com (Semarang-Jateng) – Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Anindyaguna (AECO) Semarang lakukan wisuda ke 33 di Hotel Patrajasa Semarang, Senin (23/9). Wisuda lulusan Program Strata Satu Program Studi Manajemen (S1) sebanyak 34 mahasiswa itu, diisi orasi ilmiah oleh Nurdin Rifai, SE, MSc,MAP,Phd.
Orasi yang disampaikan dalam sidang senat terbuka itu, menyoroti masalah pengangguran dikalangan usia muda, ternyata ada 44 persen dari total jumlah pengangguran di dunia, padahal jumlah mereka hanya 25 persen dari seluruh populasi usia kerja.
”Kenaikan jumlah pengangguran pada usia muda adalah pengangguran terdidik, sehingga berdampak berbagai masalah sosial dan bisa menjadi bom waktu yang dapat mengganggu stabilitas keamanan, hukum, sosial dan politik dikemudian hari,”ujarnya.
Menurutnya, bom waktu tersebut bukan saja bagi para calon pencari kerja, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, salah satu jalan keluar terhadap masalah pengangguran tersebut, menggagas ide kewirausahaan secara sistematis, masif dan terstruktur.
”Menjadi seorang entrepreneur memang tidak mudah, sehingga membutuhkan prakondisi yang tepat disebut 3 L yaitu,lahir, lingkungan dan latihan,”paparnya.
Namun demikian lanjut dia, seorang yang dibesarkan dan dilahirkan dalam keluarga entrepreur akan mempunyai peluang yang lebih besar menjadi entrepreneur,jika dibandingkan dari keluarga diluar entrepreneur. Tetapi hal ini tidak mutlak karena masih ada faktor lain yaitu, lingkungan dan latihan yang tidak kalah dengan faktor kelahiran.
”Jadi pentingnya latihan dalam penciptaan entrepreneur bisa dikaitkan dengan penyelenggaraan sistem pendidikan, baik formal maupun informal sebagai wadah calon-calon entrepreneur kembangkan bakat dan kemampuannya,”katanya.
Dijelaskan Nurdin, ditengah keterbatasan jumlah entrepreneur di dalam negeri yang kurang dari 1 persen jumlah penduduk, Indonesia sekarang ini mengalami krisis entrepreneur. Tanpa jumlah entreprenur yangmemadai setidaknya 2 persen dari populasi penduduk suatu negara, akan tetap dalam kondisi miskin dan lemah meski negara ini dianugerahi kelimpahan kekayaan alam.
”Tidak berlebihan jika Indonesia harus mengedepankan pendidikan dan penciptaan para wirausahawan dengan dukungan penuh dalam bentuk kebijakan pemerintah,”tuturnya.
Supaya semangat entreprenurship tumbuh subur, menurutnya, harus melalui berbagaitahapan yang dimulai dari usia dini hingga sampai usia memasuki perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pelatihan ketrampilan yang memungkinkan terbentuknya wadah para entreprenur.
”Tanpa peranan dari para entrepreneur mustahil suatu bangsa akan maju, bahkan yang terjadi adalah bahwa bangsa tersebut akan semakin lemah dan miskin. Kekayaan lama yang ada akan hilang, sementara kekayaan yang baru tidak akan pernah datang,”tandasnya.
Dalam rangka menjawab tantangan kedepan khususnya yang berkaitan dengan pendidikan kewirausahaan, Nurdin mengatakan, perguruan tinggi seyogyanya mampu melakukan transformasi kelembagaan, sedangkan pendekatan keilmuan yang selama ini terlalu rigid terhadap mata kuliah kewirausahaan, hendaklah dirubah menjadi pendekatan practical.
”Dalam pendidikan kewirausahaan jarang sekali kita melihat diampu oleh para dosen yang sekaligus juga entreprenur. Jadi perlu sekali para entrprenur dilibatkan dalam mengedukasi calon mahasiswa entreprenur,”pintanya.
Ia menjelaskan, ada tiga alasan mengapa pendidikan entrepreneurship dengan pola pendekatan baru yang pragmatis, dilakukan di perguruan tinggi. Pertama, calon entreprenur membutuhkan wadah yang dipercaya untuk menciptakan leingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya entreprenur-entreprenur baru.
Kedua, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan investasi akan sulit mengejar cepatnya pertumbuhan para pencari kerja, sehingga perlu pengalihan secara sistematis melalui kampus dari pemburu kerja menjadi pencipta lapangan kerja. Ketiga, kampus yang telah mereposisi perannya pada pendekatan pendidikan kewirausahaan dari research menuju applied berpeluang melahirkan entrepreneur-entrepreneur baru.
”Pendidikan akademik kita perlu diberikan sedikit ruang pendidikan vokasi khusus dalam pengajaran kewirausahaan,”ujarnya.
Khusus pendidikan setingkat STIE Anindyaguna, menurutnya, masih menjadi lembaga pendidikan akademik yang tidak perlu menjadi lembaga pendidikan murni vokasi,tetapi pendidikan kewirausahaan.
”Hendaknya dapat melakukan metamorphosis menjadi sistem pengajaran yang membenarkan mahasiswanya, dalam lingkungan riil dunia bisnis dengan para mentornya yang juga para pebisnis,”tegasnya.(Suparman)
Komentar