InilahOnline.com (Semarang-Jateng) – Peneliti Senior LIPI Prof Dr Syamsuddin Haris mengkritisi terhadap UU Pemilu sekarang ini, yang dinilai menerapkan ambang batas pencalonan presiden aturannya tidak relevan dengan sistem presidensial. Apalagi dasar ambang batas yang digunakan adalah pilihan legislatif tahun sebelumnya, dimana peta politik sudah berubah.
”Ini merupakan keputusan yang konyol, masak pemilihan presiden didekte hasil pileg, sistem kita bukan parlementer,”ujar Syamsudin saat menjadi dosen tamu dalam kuliah umum Program Doktor Ilmu Sosial Undip Semarang, Rabu (29/11/2017).
Menurutnya, dengan terkait masalah ini pihaknya berharap Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan terkait aturan tersebut. Jika dikabulkan maka konsekuensinya semua partai politik bisa mengusung calon presiden dan wakilnya sendiri.
Dijelaskan, pemilu serentak 2019 dinilai akan menghemat biaya namun kualitas hasilnya juga dinilai tidak beda dengan pemilu saat ini. Pemilih yang dihadapkan pada lima kotak pemilihan sekaligus dalam sekali waktu dinilai menjadi salah satu penyebabnya.
”Pemilu serentak akan memilih lima lembaga sekaligus, yakni presiden dan wakilnya, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/Kota. Dalam kondisi ini pemilih bisa serampangan dalam menentukan pilihannya,”katanya.
Selain itu, menurutnya, kualitas pemilihan dipertaruhkan sehingga ada potensi asal mencoblos saja. Selanjutnya kenapa minim kualitas karena hasil pemilu tersebut tidak memberikan dampak penguatan pada sistem presidensial. Padahal, agenda utama pemilu adalah memperkuat sistem pemerintahan.
”Sebagai solusi pemilu serentak harus dipisah, yaitu pemilu serentak tingkat nasional meliputi pemilihan presiden dan wakil, DPR RI dan DPD RI. Sementara pemilu serentak tingkat lokal meliputi pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/walikota), anggota DPRD provinsi/kabupaten/ kota,”paparnya.
Pemisahan seperti itu, menurutnya,akan memberikan dampak positif untuk memperkuat sistem presidensial, asumsinya hasil pileg yang dilalukan bersamaan dengan pilpres akan condong mengikuti hasil pilpres.
”Jadi kandidat presiden yang kuat akan meningkatkan elektabilitas kader dari partai yang mengusung calon presiden yang berangkutan,”ujarnya.
Misalnya, elektabilitas Jokowi dalam pilpres 2019 tinggi dan dia dicalonkan lagi, maka partai-partai koalisi yang mengusung Jokowi akan mendapatkan imbas positif dengan memperoleh dukungan dari masyarakat.
”Dengan demikian dukungan parlemen pada presiden akan kuat dan mengefektifkan kinerja pemerintahan,a”paparnya.
Hasil pemilu di tingkat pusat, lanjut anggota Komisi Teknis Sosial Humaniora Dewan Riset Nasional ini, memiliki peluang yang sama dengan hasil pemilu di tingkat lokal.
”Jadi ini akan mengefektifkan pemerintahan, kalau sekarang kan tidak. Misalnya, ada bupati/walikota yang tidak mau dikoordinasi oleh gubernur karena beda partai,”tandasnya.(Suparman)
Komentar