InilahOnline.com (Kota Bogor)- Produksi gula nasional eks tebu selama lima tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Produksi gula pada tahun 2012 sebesar 2.591,6 ton dan tahun 2016 sebesar 2.203,7 ton.
Sementara konsumsi gula setiap tahun mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah pertumbuhan penduduk. Konsumsi gula pada tahun 2017 diproyeksikan mencapai 3,02 juta ton untuk konsumsi Rumah Tangga dan 3,25 juta ton untuk mamin,” haltersebut di sampaikan Purnomo, Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB, dalam acara Focus Group Discussion, meeting room A-IPB Internasional Conventions Center, Botani Square Jl.Padjajaran Kota Bogor, Jawa Barat. Selasa (29/8/17).
“Produksi gula setiap tahun baru mencapai 4,99 ton per hektar. Kondisi ini membuat kita selalu impor untuk menutup kekurangan. Protas dan rendemen tebu petani masih rendah, sementara biaya produksi tebu terus meningkat sehingga BPP gula tinggi. Pada tahun 2016 rendemen tebu sebesar 6,61 persen,” ujarnya.
Lanjutnya Purnomo menyatankan Lebih dari 50% bahan baku tebu berasal dari lahan petani, sumber bahan baku tebu yang berasal dari tebu rakyat mencapai 58,6 persen dan sisanya dari tebu swasta.
Kinerja PG BUMN sebagian besar masih rendah. Untuk itu Penataan PG BUMN sangat penting dilakukan. Penataan PG BUMN menjadi strategis dalam meningkatkan pendapatan petani,”bebernya.
“Beberapa kebijakan Pemerintah saat ini dirasakan kurang berpihak kepada petani. Diperlukan persiapan, kesiapan, dan komitmen semua pihak untuk meningkatkan kesejahteraan petani tebu.
Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki produktivitas dan mutu tebu, efisiensi biaya usahatani sehingga BPP turun, penataan PG BUMN agar lebih efisien, transparansi penetapan rendemen dan evaluasi bagi hasil, Menata tataniaga gula (GKP dan GKR) serta kebijakan yang memihak pada petani,” harap Purnomo.
Dalam upaya peningkatan protas dan mutu tebu, yang perlu dilakukan adalah Program bonglyar ratoon sehingga dicapai proporsi tanaman PC dan RC 25% : 75% atau paling tidak 20% : 80%, Penataan verietas, Benih bermutu dengan jumlah dan harga yang wajar, Pemupukan dan pengelolaan limbah kebun dan pabrik, Pemanfaatan sumberdaya air untuk pola tanam 1 (Mei-Agst). Manajemen tebang, dan Penggunaan mekanisasi sesuai dengan kondisi wilayah.
Kebijakan Harga
Penetapan harga acuan (HPP) dan harga eceran tertinggi (ET) harus didasarkan pada biaya produksi dan sebaran marjin.
Dengan BPP gula petani Rp 9.000 dan harga acuan Rp 9.100 maka dg HET Rp 12.500, berarti marjin tataniaga total Rp 3.500. Jika marjin setelah lelang diambil Rp 2.000, maka lelang sekitar Rp 10.500, mariin petani hanya Rp 1.500. Dengan asumsi HET tetap maka marjin tataniaga harus turun agar marjin petani naik realisasinya menurunkan marjin tataniaga sulit.
Dengan marjin tataniaga tetap dan marjin petani naik (harga lelang harus naik misalnya Rp. 11.000) maka HET menjadi Rp 13.000 HET bersifat dinamis, pada saat BPP dapat diturunkan dan marjin tataniaga lebih efisien, HET bisa turun.
Rekomendasi Kebijakan
Diperlukan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan mutu tebu petani agar petani tetap menanam tebu dengan baik.
Penataan PG BUMN sangat strategis karena akan berdampak pada pendapatan petani tebu.
Evaluasi kemitraan antara petani dengan PG
Pengembangan industri gula memerlukan kebijakan dan fasilitas baik dalam penataan/pembangu-nan PG, sumber dana, dan tataniaga.
Penetapan harga acuan dan HET harus didasarkan pada biaya produksi yang berlaku. (Nicko)
Komentar