Oleh : Abdul Jalil Hermawan*)
Setiap tanggal 3 Mei diperingati sebagai hari kebebasan pers. Momentum ini diperingati sebagai upaya untuk mengukur dan mengevaluasi sejauh mana kebebasan pers di berbagai negara. Peringatan ini dimulai sejak tahun 1993. Saat itu, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 3 Mei sebagai hari untuk memperingati prinsip dasar kemerdekaan pers. Selain itu peringatan ini juga harus dipergunakan sebagai refkelsi bagi insan media dalam menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi. Sebelum mengukur kebebasan pers pemahaman perihal kebebasan pers harus dikupas terlebih dahulu. Diksi bebas dalam kemerdekaan pers bukan bebas tanpa aturan atau etika yang membingkainya.
Perusahaan media memang secara mandiri mengurus dirinya sendiri atau self regulatory organization. Tetapi kebebasan ini juga diatur oleh UU dan kode etik jurnalistik. UU pers no 4 tahun 1999 secara gamblang mengatur perusahaan pers dan para pelakunya. Dalam pasal 5 berbunyi pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Dalam kode etik jurnalistik pun demikian. Pers selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi.
Jadi bebas dalam kontek ini adalah setiap insan media tidak boleh mendapat hambatan dalam proses mencari, mengolah dan menyebarluaskan berita. Hambatan tidak boleh datang dari narasumber, obyek yang diliput hingga kepada para pemilik media. Hambatan bisa berupa intimidasi, ancaman atau bahkan iming iming hadiah.
Aturan main yang dibuat tentu bukan untuk membelenggu atau mengurangi kebebasan pers. Tetapi lebih kepada agar pers lebih bisa bertanggung jawab atas apa yang telah disampaikan medianya. Apalagi dalam beberapa tahun belakang kredebilitas pers terus menurun. Saat pemilihan presiden tahun 2014 kita dipertontontan polarisasi pemberitaan media massa. Hal itu berlanjut hingga pemilihan presiden 2019. Media massa telah membuat determinasi polarisasi dukung mendukung yang telanjang. Dalam kondisi seperti ini tentu kredebilitas media massa sudah menyentuh titik nadir. Mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan kredibilitas media artinya media yang mampu memikul kepercayaan dan dapat dipercaya (media trust). Secara esensial, media kredibel adalah media yang senantiasa mengkedepankan responsibility dan accountability Secara jurnalistik, media trust biasanya dibangun atas dasar ketaatan terhadap prinsipprinsip jurnalisme, baik dalam arti mekanisme maupun etik, ketaatan terhadap kelaziman jurnalistik (the best practices of democratic media), dan ketaatan pada hukum. (Bagir Manan : 2017)
Akibat dari bentukan polarisasi pemberitaan ini Independensi media dijual sendiri oleh media karena berkolaborasi dengan penguasa, menjadi partisan, dan menjadi alat propaganda. Diskusi perihal hubungan media dengan kekuasaan selama ini cenderung menempatkan posisi media hanya sebatas alat kekuasaan dari rezim. Dalam ideologi media, media dianggap sebagai lembaga yang bisa merekayasa kesepakatan tatanan sosial dan politik (Chomsky:1989). Bahkan analisi lain mengatakan media massa adalah bagian dari ideologi aparatur negara (Althausser:1971). Apa yang disampaikan Althausser ini terasa masih relevan dengan kondisi media sekarang. Jurnalis kini kadang terlalu masyhuk dengan narasumber narasumber dari pemerintah. Statament news masih mendominasi karya para jurnalis kini. Sederhananya narasumber utama masih mengandalkan pejabat yang notabene menjadi penguasa dan aparatur.
Dalil ini berbanding lurus dengan penelitian yang dilakukan oleh Remotivi terkait Bagimana media massa melakukan reportase dalam kasus Anarko-sekelompok anak muda yang dianggap membuat rusuh pada 18 dan 30 April lalu. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa distribusi wacana perihal kelompok Anarko selalu dimulai dari narasumber tunggal yang tidak pernah terverifikasi, yakni kepolisian. Ironinya informasi tersebut menguap begitu saja pada bulan berikutnya tanpa sempat terjelaskan apalagi terbuktikan. Dalam komposisi narasumber yang diberikan jatah paling besar oleh media pada tahun 2019 dipastikan kepolisian. Angkanya mencapai 57,1 persen. Jatah terbesar kedua oleh pemerintah yang mencapai 18,4 persen. Sedangkan dari pihal Anarko-nya sendiri hanya 10,2 persen. Persentase tersebut tak juga membaik pada 2020. Pihak kepolisi lagi lagi mendapat porsi terbanyak sebagai narasumber yang mencapai 76,2 persen. Pihak Anarko sendiri hanya 2,4 persen. (Remotivi:2020). Padahal informasi yang bersumber dari kepolisian juga belum tentu benar. Hal ini terbukti dengan diviralkannya yang mengaku sebagai ketua Anarko. Padahal dia hanya seorang pencuri helm. Hanya gara gara di dadanya ada tato huruf A ukuran besar. Idealnya media massa memberikan porsi seimbang kepada pihak pihak yang memang berhubungan dengan isu apapun.
Padahal menurut Ward (1991), cara termudah untuk memverifikasi berita adalah dengan melakukan pengecekan pada tiap klaim. Membandingkan narasumber satu dan lainnya (bukan narasumber tunggal), serta menyeimbangkan interpretasi fakta. Memeriksa silang dengan dua atau tiga sumber independen, mengecek sensitivitas informasi, mencari ketersediaan sumber alternatif, serta keandalan sumber asli menjadi tugas suci para jurnalis. Jika hal-hal tersebut gagal dilakukan, maka pengaruhnya tak hanya soal opini publik yang melenceng, tapi juga kredibilitas dari media yang bersangkutan.
Begitu juga dalam pemberitaan pandemi convid 19. Media massa terlalu manja hanya menunggu press release yang akan disampaikan juru bicara. Press release itu lagi lagi dijadikan sumber satu satunya tanpa pengayaan sumber lain. Dengan kondisi seperti itu bisa saja apa yang dikhawatirkan oleh Paul H. Weaver dalam “Why the News is Not the Truth” menjadi kenyataan. Media massa dan otoritas, termasuk politisi dan polisi, terperangkap dalam jaringan kebohongan simbiotik yang menyesatkan publik. Keduanya terjalin dalam lingkaran setan manipulasi timbal balik, pembuatan mitos, dan kepentingan pribadi. Akibat dari kredebilitas yang terjun bebas ini, masyarakat tak lagi menjadikan media sebagai informasi utama. Bahkan beberapa kali media mendapatkan penolakan saat akan melakukan peliputan. Karena sekali lagi diawali dengan polarisasi isu. Jika media massa tak lagi memiliki kredebelitas, tentu tujuan awal dari media massa sebagai pilar demokrasi keempat hanya utopia belaka.
Selain kredebelitas, media massa kini juga memiliki tantangan untuk berperang dengan para produsen berita berita bohong (hoax). Jangan sampai berita berita yang belum terverifikasi malah dijadikan sumber untuk konten beritanya. Sayangnya saat ini ada tren media mainstream yang mengutip sumber sumber anonim yang validitasnya diragukan. Belum lagi banyaknya media, biasanya medi online yang mengutip sumber berita dari konten youtube para pesohor. Sumber informasi dipastikan tunggal.
Jadi berbicara tentang kebebasan pers maka, tidak bisa dipungkiri harus dibahas juga batasan-batasannya. Karena kebebasan dipastikan melahirkan batasan. Terkait isu kebebasab pers dengan makna leksikal sendiri di Indonesia belum terlalu menggembirakan. Jika dilihat dari indek kebebasan pers pada tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Journalist Without Border, Indonesia masih menempati urutan 142 dari 180 negara. Dari indeks ini bisa diketahui bahwa intimadasi, ancaman dan halangan dalam melaksanakan tugas jurnalistik di Indonesia masih besar. Pada tahun 2019 masih ada 75 kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan yang diterima mulai dari kekerasan fisik hingga ancaman pembunuhan. Bahkan di awal 2020 publik juga dikagetkan dengan ditahannya seorang jurnalis di Palopo karena memberitakan dugaan korupsi. Dia dijerat dengan pasal UU ITE. karena dianggap mencemarkan nama baik. Padahal jika menyangkut produk pers, undang undangnya sudah jelas menggunakan undangan pers no 40 tahun 1999.
Kebebasan pers yang masih dikeliling dengan polarisasi isu, kredebilitas yang menurun, menjamurnya berita hoax dan masih tingginya jurnalis yang mengalami kekerasan, semoga tidak menjadikan jurnalisme mati perlahan. Seperti yang disampaikan oleh jurnalis senior Al-Jazeera Step Vaessen yang mengatakan jurnalisme akan rusak bahkan kiamat jika perilaku pers dan para pelakunya masih seperti sekarang. Semoga pers Indonesia kian berjaya. Mandiri dan bebas intimidasi.
*)Penulis adalah seorang Jurnalis dan Dosen UGJ Cirebon
Komentar