Nasyiatul Aisyiyah Diharapkan Mampu Edukasi Publik terkait Pencegahan TPPO

Berita, Nasional306 Dilihat

INILAHONLINE.COM, JAKARTA — Fenomena Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) seringkali terjadi pada kalangan perempuan. Jika sebelumnya pelaku trafficking (perdagangan) mayoritas merekrut korban dari wilayah pedesaan saja, namun dalam lima tahun terakhir, masyarakat di perkotaan juga menjadi target sasaran.

Data tersebut diungkap Koordinator Pelaksana Harian LBH APIK Indonesia, Khotimun Sutanti, dalam webinar “Tren, Pola, dan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia” yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, Sabtu (25/11/2023).

Bahkan trafficking tidak hanya menyasar kalangan berpendidikan rendah saja, melainkan juga menyasar sarjana dan orang-orang berketrampilan. Khotimun menjelaskan banyak faktor yang menjadikan perempuan dan anak mudah menjadi korban perdagangan, selain karena kemiskinan, mereka yang tinggal di daerah konflik juga rentan menjadi korban.

Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Hutri Agustino

“Para korban kekerasan misalnya KDRT, biasanya melakukan migrasi secara ilegal dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan gaji tinggi di luar negeri juga rentan yang akhirnya menjadi korban trafficking,” tutur aktivis yang karib disapa Imun.

Adapun penanganan TPPO, Imun menyarankan agar korban TPPO segera melakukan pengaduan baik ke Satgas TPPO, OBH/ LSM, Polisi atau KBRI bila berada di luar negeri. Korban juga bisa ditempatkan di penampungan sementara atau rumah aman dan mendapatkan layanan pendukung, mulai dari dukungan psikologis hingga pendampingan hukum, selanjutnya korban bisa dipulangkan ke tempat asal dan diberikan dukungan integrasi sosial.

Imun berharap, Nasyiatul Aisyiyah sebagai organisasi ramah perempuan dan anak mampu mengedukasi publik terkait fenomena dan pencegahan TPPO, melakukan penguatan kepada perempuan hingga mendorong kebijakan untuk mewujudkan akses kerja aman, nyaman dan lain-lain.

Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Hutri Agustino, mengamini bahwa perdagangan manusia ini juga menyasar masyarakat yang minim literasi digital serta ketrampilan. Bahkan menurutnya, faktor ekonomi mampu memicu seseorang rentan terjerat modus trafficking.

Ia menambahkan, perdagangan orang sudah jelas diatur dalam payung hukum UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO pasal 1 ayat 1.

“Didalam UU ini cakupannya sangat luas,” ucapnya.

Dijelaskan Hutri, proses TPPO ini berawal dari upaya perekrutan, kemudian pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan dan penerimaan. Korban seringkali terbujuk rayu para broker tenaga kerja dengan iming-iming gaji yang tinggi.

“Seringkali polanya dijanjikan pekerjaan yang membuat mereka kaya dengan cepat, dijanjikan dirayu menjadi pekerja migran di kota besar. Mereka dipekerjakan di tempat-tempat hiburan, sebagai pengedar narkoba, pekerja buruh migran, namun endingnya justru dieksploitasi secara fisik atau seksual seperti dijadikan pekerja seks bahkan diperdagangkan organ tubuhnya,” tutur Hutri.

Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah

“Ini banyak terjadi juga di wilayah Amerika dan Amerika latin. Banyak sekali mafia memperdagangkan narkoba juga perempuan termasuk organ tubuh,” sambungnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyatakan pemerintah Indonesia sudah memiliki kebijakan terkait TPPO, akan tetapi implementasinya belum maksimal.

Indonesia, kata Alimatul, merupakan negara yang sudah memiliki aturan dan praktik perlindungan bagi tenaga kerja lokal maupun asing meskipun belum sesuai standar internasional.

“Komitmen negara terhadap TPPO sudah banyak dilakukan, Indonesia ini masuk negara tingkat dua, yaitu negara yang memiliki aturan dan melakukan praktik perlindungan kepada pekerja namun standarnya belum sesuai standar internasional,” tutur Alimatul.

Alimatul menegaskan, pencegahan TPPO tidak bisa hanya mengandalkan peran dan komitmen negara saja, melainkan harus melibatkan semua elemen untuk bergerak bersama.

“Kita semua harus gerak bersama stop TPPO, mulai dari komunitas kecil seperti keluarga, RT/ RW, kelurahan, harus saling jaga dan mengingatkan agar warganya tidak mudah terbuai oleh bujuk rayu broker tenaga kerja, lalu bangun kelompok pendukung dari teman, orang terdekat, perkuat penanganan korban ini di tingkat komunitas, laporkan jika ada kasus TPPO, dan bantu pemulihan untuk korban,” jelas Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Selain itu, Alimatul menjelaskan di abad 21 saat ini ada seperangkat kecerdasan digital yang dapat digunakan untuk mengontrol dan menguatkan nilai kemanusiaan.

Melalui pemanfaatan media digital, Alimatul mendorong semua kalangan termasuk anak muda untuk meningkatkan skill digital kreatif sehingga bisa menjaga nalar kritis terhadap fenomena sosial.

“Dengan itu (skill digital kreatif), kita bisa menghasilkan kreatifitas yang berpeluang menjadikan kita lebih kritis, supaya tetap berpikir kritis, terjaga dan mampu menangkal kejahatan-kejahatan yang tersebar melalui media,” tukasnya.(Red)

banner 521x10

Komentar